"Is it okay for holding so much hatred of something that is in the past?"
Scroll. swipe. Scroll, swipe.
I stumbled on one picture that gave me so much feelings.
pulih.
***
Saya tahu, apa yang saya tulis ini adalah emosi personal omong kosong yang berangkat dari apa - apa yang terjadi dan apa - apa yang saya ingin terjadi. Toh, semua tulisan di blog ini adalah hal - hal personal yang tentu saja menarik untuk dibaca. Menyenangkan mengetahui isi hati, emosi dan perasaan seseorang. Mereka seperti permata yang kau temukan dalam diri manusia. Tersembunyi, tapi berharga. Sayang sekali, semakin hari manusia semakin malu untuk mengekspresikan diri. Termasuk saya juga. Saya bukan orang yang pemalu atau pendiam dengan orang lain. Tapi, menulis selalu menjadi ibu tempat saya pulang dan bersimpuh. Kalian menemukan saya di setiap kata yang patah - patah, mentah dan tidak stabil ini.
Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegiatan gabut saya pada platform Instagram. Jam menunjukkan pukul 07.44 pagi, di bulan Ramadhan. Tidak berniat tidur, dan lebih memilih untuk tidak melakukan apa - apa. Rumah sangat sepi di waktu - waktu seperti ini. Tidak seperti biasanya, hari dimulai dengan sangat hening. Setiap hari saya menikmati pagi yang sepi sendirian. Kadang - kadang ditemani sayup - sayup suara cekikikan adik perempuan saya yang sedang nonton drama korea. Siklus tidur yang semakin tidak berpola di bulan puasa ini, pasrah sudah. Instagram adalah pelarian yang paling baik.
I stumbled on one picture that gave me so much feelings.
Saya tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan manusia bekerja. Mengimajinasikan hati manusia berada dalam kepalan tangan Tuhan yang digenggamnya dengan sangat rapat dan kuat. Ya, sangat kuat dan rapat, sehingga tidak tersisa cela sedikitpun untuk sekedar mengintip dan melihat. Mungkin memang benar ungkapan: "hati manusia siapa yang tahu?". Saya kira, ungkapan itu lahir dari ke-putus-asa-an manusia untuk mencoba memahami bagaimana hati dan perasaan bekerja. Mereka (pikir) telah menaklukkan dunia dan isinya, tapi tidak pernah berhasil mengendalikan sesuatu yang ada dalam diri mereka.
Kenapa tidak mencoba berpikir bahwa hati dan perasaan adalah sentuhan terakhir dari Tuhan yang ia tinggalkan padamu?
Sesungguhnya, menulis entri ini adalah sebuah upaya (sia-sia) untuk memahami perasaan aneh tidak terjelaskan ini. Satu postingan di instagram yang memicunya. Atau, setidaknya postingan - postingan lain yang berkaitan soal 'itu'. Apa yang saya rasakan ketika melihat postingan itu? awalnya saya merasa sangat benci, lalu kulihat lagi, semuanya menjadi sangat menjijikan. Semakin melihat postingan itu semakin saya terlempar jauh pada masa-masa yang sangat tidak ingin kukenang. Saya menjalani hidup dengan sangat dungu. dengan begitu banyak rasa penyesalan.
Saya pikir selama ini saya baik-baik saja. Saya percaya time-heals-all-pain. Luka jika ditimbun dengan banyak hal maka ia akan hancur dengan sendirinya. Tidak ada luka yang terlalu berdarah untuk sembuh. Sama seperti kepergian dan kehilangan, luka apapun bisa terobati jika kau melanjutkan hidup. Toh, pada akhirnya apapun menjadi terlupakan. Lupa, lalu menjadi sangat lupa.
Pada akhirnya saya lupa, terkadang ada luka yang tidak akan pernah hancur walau kau hujani ia dengan hal - hal yang paling manis dan menyenangkan di muka bumi ini. Ia tidak akan lenyap. Ia hanya akan lebur dengan segalanya yang-kau-sebut-itu-indah dan bersembunyi di setiap sela. Ia hanya akan melebur dan bercampur. Namun sayangnya, ia tidak akan pernah hilang.
Pada akhirnya saya lupa, terkadang ada luka yang memang bisa hilang. Namun ia meninggalkan bekas, ia meninggalkan jejak. Ia meninggalkan satu area di dalam hatimu yang selalu berseru bahwa ia pernah ada dan menancap begitu dalam. Waktu bisa saja menyembuhnya semua luka, jika kau masih ingin terus megklaimnya. Tapi, apa waktu bisa menyembuhkan bekasnya? Saya tidak terlalu tahu, tentu saja. Semua orang punya persepsinya sendiri. yang saya tahu, scars are the worst. Mereka adalah bukti. Mereka adalah pengingat. dan, mereka akan selalu mengingatkanmu.
Entri ini diawali dengan narasi sok tahu tentang bagaimana saya mengimajinasikan hati dan perasaan bekerja. Luka, hati, dan perasaan. Mereka saling bertautan dalam suatu ikatan yang aneh dan tidak akan pernah bisa dijelaskan. Ada waktu manusia akhirnya mengerti bagaimana menaklukkan perasaan mereka, maka itulah yang disebut kiamat. Ah, Lagi - lagi narasi yang sok tahu dan menyebalkan.
Semua perkara luka, hati dan perasaan, ujug - ujug berakhir pada pertanyaan remeh: kenapa saya termenung terlalu lama pada postingan - postingan itu? Saya masih tidak menemukan jawaban yang pasti.Tapi mari anggap saja begini. Mungkin saja, dengan sok tahu saya menyimpulkan bahwa saya hanya berusaha untuk mengingatnya. Ya, sadar atau tidak: ada bagian dari 'saya' yang ingin untuk mengingatnya.
Kembali lagi, selama ini saya tidak pernah mendeklarasikan diri untuk memaafkan dan hanya fokus untuk melupakan hal itu. Saya memang, berhasil melupakannya. Sejujurnya, saya sangat baik - baik saja. Saya dapat menyukai orang lain dengan lebih baik lagi. Saya menjalani hari - hari selayaknya manusia, tekadang dengan bahagia dan terkadang pula dengan tangis. Saya punya hal - hal yang baik di sekitar saya. Saya merasa sangat normal, dan..
pulih.
Ah, tapi tetap saja. luka itu tidak pergi. Entah, selama ini ia melebur dan bercampur, menjadi satu dan bersembunyi. Atau mungkin, ia sebenarnya sudah pergi namun bekasnya begitu nyaring bersuara. Saya tidak tahu lagi. Apapun itu, saya belajar ternyata ada hal - hal yang tidak selesai hanya dengan melupakan. Ya, hidup memang harus belanjut. Tapi, kau kan manusia. Kau tidak tahu bagaimana setiap sel dari hati dan perasaanmu bekerja. Ia berada digenggaman Tuhan.
Mungkin Tuhan ingin saya untuk melihat kembali kebencian yang saya punya. Apa memang saya membenci hal itu? Atau, saya membenci diri saya sendiri karena membiarkan semua terjadi dengan dungunya? Butuh waktu lama untuk mengerti dan melihat kembali ke belakang. Bahkan lebih lama lagi untuk perkara memaafkan dan, ya.. tentu saja: mengikhlaskan. Saya hanya ingin, mengalir saja. Tidak mudah, tapi setidaknya saya telah mengerti. Atau sok mengerti.
"...pelan - pelan saja, Tuhan tidak sedang buru - buru." bisiknya.
***
Saya tahu, apa yang saya tulis ini adalah emosi personal omong kosong yang berangkat dari apa - apa yang terjadi dan apa - apa yang saya ingin terjadi. Toh, semua tulisan di blog ini adalah hal - hal personal yang tentu saja menarik untuk dibaca. Menyenangkan mengetahui isi hati, emosi dan perasaan seseorang. Mereka seperti permata yang kau temukan dalam diri manusia. Tersembunyi, tapi berharga. Sayang sekali, semakin hari manusia semakin malu untuk mengekspresikan diri. Termasuk saya juga. Saya bukan orang yang pemalu atau pendiam dengan orang lain. Tapi, menulis selalu menjadi ibu tempat saya pulang dan bersimpuh. Kalian menemukan saya di setiap kata yang patah - patah, mentah dan tidak stabil ini.
Makassar, 09 Mei 2020
orang yang memberi luka ini
telah kutulis tentangnya:
dua kali.
Komentar
Posting Komentar