Langsung ke konten utama

Is it okay?

"Is it okay for holding so much hatred of something that is in the past?"

Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegiatan gabut saya pada platform Instagram. Jam menunjukkan pukul 07.44 pagi, di bulan Ramadhan. Tidak berniat tidur, dan lebih memilih untuk tidak melakukan apa - apa. Rumah sangat sepi di waktu - waktu seperti ini. Tidak seperti biasanya, hari dimulai dengan sangat hening. Setiap hari saya menikmati pagi yang sepi sendirian. Kadang - kadang ditemani sayup - sayup suara cekikikan adik perempuan saya yang sedang nonton drama korea. Siklus tidur yang semakin tidak berpola di bulan puasa ini, pasrah sudah. Instagram adalah pelarian yang paling baik.

Scroll. swipe. Scroll, swipe. 
I stumbled on one picture that gave me so much feelings.

Saya tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan manusia bekerja. Mengimajinasikan hati manusia berada dalam kepalan tangan Tuhan yang digenggamnya dengan sangat rapat dan kuat. Ya, sangat kuat dan rapat, sehingga tidak tersisa cela sedikitpun untuk sekedar mengintip dan melihat. Mungkin memang benar ungkapan: "hati manusia siapa yang tahu?". Saya kira, ungkapan itu lahir dari ke-putus-asa-an manusia untuk mencoba memahami bagaimana hati dan perasaan bekerja. Mereka (pikir) telah menaklukkan dunia dan isinya, tapi tidak pernah berhasil mengendalikan sesuatu yang ada dalam diri mereka.

 Kenapa tidak mencoba berpikir bahwa hati dan perasaan adalah sentuhan terakhir dari Tuhan yang ia tinggalkan padamu?

Sesungguhnya, menulis entri ini adalah sebuah upaya (sia-sia) untuk memahami perasaan aneh tidak terjelaskan ini. Satu postingan di instagram yang memicunya. Atau, setidaknya postingan - postingan lain yang berkaitan soal 'itu'. Apa yang saya rasakan ketika melihat postingan itu? awalnya saya merasa sangat benci, lalu kulihat lagi, semuanya menjadi sangat menjijikan. Semakin melihat postingan itu semakin saya terlempar jauh pada masa-masa yang sangat tidak ingin kukenang. Saya menjalani hidup dengan sangat dungu. dengan begitu banyak rasa penyesalan. 

Saya pikir selama ini saya baik-baik saja. Saya percaya time-heals-all-pain. Luka jika ditimbun dengan banyak hal maka ia akan hancur dengan sendirinya. Tidak ada luka yang terlalu berdarah untuk sembuh. Sama seperti kepergian dan kehilangan, luka apapun bisa terobati jika kau melanjutkan hidup. Toh, pada akhirnya apapun menjadi terlupakan. Lupa, lalu menjadi sangat lupa. 

Pada akhirnya saya lupa, terkadang ada luka yang tidak akan pernah hancur walau kau hujani ia dengan hal - hal yang paling manis dan menyenangkan di muka bumi ini. Ia tidak akan lenyap. Ia hanya akan lebur dengan segalanya yang-kau-sebut-itu-indah dan bersembunyi di setiap sela. Ia hanya akan melebur dan bercampur. Namun sayangnya, ia tidak akan pernah hilang.

Pada akhirnya saya lupa, terkadang ada luka yang memang bisa hilang. Namun ia meninggalkan bekas, ia meninggalkan jejak. Ia meninggalkan satu area di dalam hatimu yang selalu berseru bahwa ia pernah ada dan menancap begitu dalam. Waktu bisa saja menyembuhnya semua luka, jika kau masih ingin terus megklaimnya. Tapi, apa waktu bisa menyembuhkan bekasnya? Saya tidak terlalu tahu, tentu saja. Semua orang punya persepsinya sendiri. yang saya tahu, scars are the worst. Mereka adalah bukti. Mereka adalah pengingat. dan, mereka akan selalu mengingatkanmu. 

Entri ini diawali dengan narasi sok tahu tentang bagaimana saya mengimajinasikan hati dan perasaan bekerja. Luka, hati, dan perasaan. Mereka saling bertautan dalam suatu ikatan yang aneh dan tidak akan pernah bisa dijelaskan. Ada waktu manusia akhirnya mengerti bagaimana menaklukkan perasaan mereka, maka itulah yang disebut kiamat. Ah, Lagi - lagi narasi yang sok tahu dan menyebalkan. 

Semua perkara luka, hati dan perasaan, ujug - ujug berakhir pada pertanyaan remeh: kenapa saya termenung terlalu lama pada postingan - postingan itu? Saya masih tidak menemukan jawaban yang pasti.Tapi mari anggap saja begini. Mungkin saja, dengan sok tahu saya menyimpulkan bahwa saya hanya berusaha untuk mengingatnya. Ya, sadar atau tidak: ada bagian dari 'saya' yang ingin untuk mengingatnya. 

Kembali lagi, selama ini saya tidak pernah mendeklarasikan diri untuk memaafkan dan hanya fokus untuk melupakan hal itu. Saya memang, berhasil melupakannya. Sejujurnya, saya sangat baik - baik saja. Saya dapat menyukai orang lain dengan lebih baik lagi. Saya menjalani hari - hari selayaknya manusia, tekadang dengan bahagia dan terkadang pula dengan tangis. Saya punya hal - hal yang baik di sekitar saya. Saya merasa sangat normal, dan..

pulih.

Ah, tapi tetap saja. luka itu tidak pergi. Entah, selama ini ia melebur dan bercampur, menjadi satu dan bersembunyi. Atau mungkin, ia sebenarnya sudah pergi namun bekasnya begitu nyaring bersuara. Saya tidak tahu lagi. Apapun itu, saya belajar ternyata ada hal - hal yang tidak selesai hanya dengan melupakan. Ya, hidup memang harus belanjut. Tapi, kau kan manusia. Kau tidak tahu bagaimana setiap sel  dari hati dan perasaanmu bekerja. Ia berada digenggaman Tuhan.

Mungkin Tuhan ingin saya untuk melihat kembali kebencian yang saya punya. Apa memang saya membenci hal itu? Atau, saya membenci diri saya sendiri karena membiarkan semua terjadi dengan dungunya? Butuh waktu lama untuk mengerti dan melihat kembali ke belakang. Bahkan lebih lama lagi untuk perkara memaafkan dan, ya.. tentu saja: mengikhlaskan. Saya hanya ingin, mengalir saja. Tidak mudah, tapi setidaknya saya telah mengerti. Atau sok mengerti.

"...pelan - pelan saja, Tuhan tidak sedang buru - buru." bisiknya.

***

Saya tahu, apa yang saya tulis ini adalah emosi personal omong kosong yang berangkat dari apa - apa yang terjadi dan apa - apa yang saya ingin terjadi. Toh, semua tulisan di blog ini adalah hal - hal personal yang tentu saja menarik untuk dibaca. Menyenangkan mengetahui isi hati, emosi dan perasaan seseorang. Mereka seperti permata yang kau temukan dalam diri manusia. Tersembunyi, tapi berharga. Sayang sekali, semakin hari manusia semakin malu untuk mengekspresikan diri. Termasuk saya juga. Saya bukan orang yang pemalu atau pendiam dengan orang lain. Tapi, menulis selalu menjadi ibu tempat saya pulang dan bersimpuh. Kalian menemukan saya di setiap kata yang patah - patah, mentah dan tidak stabil ini.


Makassar, 09 Mei 2020
orang yang memberi luka ini
 telah kutulis tentangnya:
dua kali. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagi

Lagi-lagi. Entri ini mungkin didorong oleh perubahan hormon estrogen dan kadar serotonin seorang perempuan, setidaknya terjadi satu bulan sekali dan menjadi pihak yang selalu disalahkan oleh sebagian besar pria di seluruh dunia jikalau sang Ratu yang dahulu menawan bertransformasi menjadi ancaman sengsara lingkaran setan selama satu minggu penuh. Terlepas dari anggapan bahwa perempuan itu membingungkan dan selalu ingin dimengerti, mengapa tidak mencoba berpikir seperti ini: Kamu itu memang sedang salah. *** Makassar, di hari-hari kering kemarin aku melihat satu pasangan lucu. Sedang kasmaran, tentu saja. Fresh from the oven, baru saja jadian. Mereka manis dan menjalani hari-hari manis bersama. Sang pria, seperti  sedang bersama bongkahan semesta dengan planet-planet biru mengitari dan debu-debu asteroid yang bersinar. Menatapnya, menatap 2 mata sipit itu yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi seakan-akan dia baru saja melihat pusat dari tata surya. Pusat dari segala keindahan an

Gemas

Padahal, Aku ingin terlihat menggemaskan. Pakai baju merah atau yang putih? Haruskah aku memakai bando yang ini?  Syal ini terlihat oke? Tidak? Mesti kuganti? Apa rambutku baik-baik saja? Ah, sial. Jerawatku tumbuh lagi. Bagaimana ini? Cuci muka dengan air beras? Tidak usah? Baiklah. Hari ini aku merasa sangat pendek.  Hei, kemarin-kemarin aku merasa tinggi kau tahu? Jangan mengejekku!  Diet mungkin membuatku kurus dan lebih pendek. Ah tidak apa-apa. Pendek itu menggemaskan. Oh, tunggu. Apa ini? Sepatuku belum kering?! Tidak... tidak.. aku harus memakai sepatu yang itu. Tidak boleh yang lain. Tapi, bu...  Sepatunya cocok dengan ba-- Iya, baiklah. Aku akan memakainya. Tapi tetap tidak ikhlas. Persetan dengan langit mendung!  Ugh. Sudah jam berapa ini? Aku harus segera bersiap-siap.  Adinda, cepat mandinya. Aku harus terlihat lucu hari ini.  Demi Tuhan, Aku hanya ingin 'sedikit' lebih menggemaskan untuk hari ini. Apa riasanku terl

Pak Amal

Namanya: Pak Amal. Guru Bhs. Indonesia, mengajar di kelas IPS sewaktu aku masih SMA dulu. Beliau sekaligus nyambi jadi Wali Kelas IPS 1. Ya teman-teman, Amaluddin dan XI IPS 1 adalah legenda. Sama seperti tahun lalu, lalu tahun tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya lagi. Selalu begitu. XI IPS 1 dan Amaluddin adalah pasangan keramat di sekolahku. Beliau adalah sumber dari segala 'crooked smile' yang diberikan para pendahulu kami, kakak - kakak angkatan sebelumnya, para Survivor . Dengan tatapan yang tidak terlalu kupahami, mereka bisikkan kami dengan sangat halus dan lembut:  "Selamat Nah.." Pak Amal berpostur tubuh sedikit mungil dibandingkan Bapak Guru lainnya di sekolah kami. Kacamatanya juga sangat vintage style , dengan frame emas lengkap dengan Strap kacamata yang selalu digantungkan. Akhir - akhir ini kusadari gayanya itu menjadi tren para remaja. Wajahnya sebenarnya ramah, untuk kesan pertama. Warna kulitnya tidak gelap, dan bahkan berseri - seri

Telepon dari Ayah

Pendeknya: akhir-akhir ini Ayah suka sekali meneleponku. Ayah menelepon ke rumah adalah hal yang lumrah, tentu saja. Ia menelepon Ibu, lalu Nunu yang sedang di Malang dan kadang-kadang juga Dela. Aku? Tidak pernah. Aku sebenarnya menolak memberikan Ayah nomor teleponku. Bukan apa-apa, aku juga tidak sedang sibuk apapun, dan untuk Ayah, aku memang selalu punya waktu. Hanya, apa ya? I hate the feeling. Setelah mendengar suaranya, aku tidak suka perasaan yang ditinggalkan. Khawatir, sedih,.. Kangen. Ah, yang paling penting: aku khawatir aku akan menangis. Yaa yaa ya, bilang saja aku orang paling jaim seluruh dunia. Kalau kata anak indie:  semesta sedang menertawakan bagaimana aku berlakon dengan gengsiku.   "..but? Its okay to cry, babe."  another blah blah blah. Tidak, sayang, tidak. Aku, iya memang jaim. tapi, bagaimana ya? Lebih daripada itu, aku tidak boleh menambah beban ayah dengan mendengarku menangis. Tidak boleh. Tidak bisa. Ayahku, se-overthinking itu. Dia akan

Kira

Aku kira. Bukan, namaku bukan Kira tentu saja. Kira, kau tahu kan? Kata yang menggambarkan pertentangan antara " what do you expect " dan " what actually happening" . Seperti apa yang kau anggap terjadi, ternyata tidak. Ternyata bukan, Ternyata hanya dikepalamu saja. Ternyata bukan itu yang menjadi realita. Harapan yang terlalu dekat dengan kenyataan, namun tidak tergapai. Tidak sampai. Tidak ke-sampai-an. Akhirnya kamu cuma bisa tersenyum, dan berkata lirih: Aku kira itu...  Aku kira, aku bukan lagi remaja perempuan kemarin. Aku kira, aku telah menjadi seorang perempuan yang Dewasa karena patah. Kuat karena jatuh. Aku kira, mengalami pengalaman jauh membuatku menjadi lebih tangguh. Hari-hari kemarin yang berat. Orang-orang yang pergi dengan bekas. Sakit, setiap denyut, setiap goresan, i feel it all.  Aku sudah merasakan semuanya, dan yang aku tahu,aku sudah siap dengan petualangan baru. Percaya diri sekali, merasa sudah berproses dan menikmati proses. Be

Yah

Ayah yang paling ganteng. Karena memang ganteng. Gagah. Iyalah. Keturunan arab, marga Alaydrus. tapi tidak sering dipake karena namanya sudah panjang. Cukup jadi nama facebook saja, ya yah? Ini bukan apa-apa. Bukan juga karena ulang tahunnya ayah yang memang sangat ambigu dan penuh misteri. Putrimu ini hanya mau bersikap manis saja. Akhir-akhir ini, i think about ayah alot. Ibu juga. Bukan karena anakmu ini sudah dewasa dan bijaksana. Hanya saja.., i dont know. Kangen. The more i drown into college life, semakin sering i think about ayah dan ibu juga rumah. Tapi untuk kali ini, fokusnya ayah saja ya bu. Soalnya, surat cinta anak-anakmu untuk ibu sudah banyak sekali dan tidak pernah sekalipun menulis buat ayah. Hehehe. Pak Aldrin. Terimah kasih karena sudah terlalu kuat untuk menggendong little Ainil yang meskipun lagi lucu-lucunya, tapi juga sangat gembul dan subur. Iya, ayah memang sering mengeluh terselubung kalau lagi flashback. "Ini anak, disuruh cuci piring lamanya m