Langsung ke konten utama

Pak Amal

Namanya: Pak Amal.

Guru Bhs. Indonesia, mengajar di kelas IPS sewaktu aku masih SMA dulu. Beliau sekaligus nyambi jadi Wali Kelas IPS 1. Ya teman-teman, Amaluddin dan XI IPS 1 adalah legenda. Sama seperti tahun lalu, lalu tahun tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya lagi. Selalu begitu. XI IPS 1 dan Amaluddin adalah pasangan keramat di sekolahku. Beliau adalah sumber dari segala 'crooked smile' yang diberikan para pendahulu kami, kakak - kakak angkatan sebelumnya, para Survivor. Dengan tatapan yang tidak terlalu kupahami, mereka bisikkan kami dengan sangat halus dan lembut: 

"Selamat Nah.."

Pak Amal berpostur tubuh sedikit mungil dibandingkan Bapak Guru lainnya di sekolah kami. Kacamatanya juga sangat vintage style, dengan frame emas lengkap dengan Strap kacamata yang selalu digantungkan. Akhir - akhir ini kusadari gayanya itu menjadi tren para remaja. Wajahnya sebenarnya ramah, untuk kesan pertama. Warna kulitnya tidak gelap, dan bahkan berseri - seri (ini aku tidak membual). Lalu jangan lupa, buku khas yang selalu dibawanya: 'Sejenak Hening'.

Kelas kami ada di lantai 2. Paling pojok, bersebelahan dengan wilayah anak kelas 10. Tentu saja, kelas kami yang pertama. Kelas unggulan untuk IPS. Walaupun terlalu jauh untuk ke kantin, menyenangkan punya kelas dengan jendela yang sangat besar dan banyak. Jadilah kelas kami paling terang, dan sejuk. Kau juga tidak perlu jauh-jauh untuk membuang sampah, jendela kami mempunyai fungsi ganda. 

Eh, maaf kalo ada SJW Go Green Go Life yang tertrigger. Kami memang sangat cupu, dahulu. :(

Karena kelas unggulan, maka XI IPS 1 isinya anak-anak dengan nilai terbaik. Entah untuk apa tujuannya. Kurasa, mereka ingin kami menjadi lebih ambisius lagi. Kelas kami berseberangan dengan ruang guru, tepat berada di atas lapangan Voli. Posisi yang sangat strategis dalam meneropong apakah guru sudah menuju ke kelas, atau digantikan dengan guru lain yang cuma 5 menit berbicara.

Pak Amal adalah Pioneer. Hari - hari awal proses belajar - mengajar tentu saja diisi dengan hal - hal administratif kelas. Seperti ketua kelas, jadwal kebersihan dan sebagainya. Proses adaptasi teman - teman baru, karena ini pertama kalinya kami dibagi untuk penjurusan. Pioneer? Pak Amal 'iya iya' saja dengan ide untuk cat ulang kelas kami. Dekorasi kelas adalah fase yang paling seru. Namun, bagi Pak Amal intinya terserah apapun yang kalian lakukan yang penting harus bersih dan tidak ada debu.

Hasilnya? ruangan kelas yang paling keren dan cerita belakang dari guru dan murid - murid lain yang dengki. Maklum, saat itu cat ulang ruang kelas masih dilarang selain untuk cat warna dasar saja. Toh, bagi Pak Amal (sekali lagi) yang penting kelas bersih dan tidak ada debu! Beberapa hari kemudian, kelas - kelas lain mulai meniru kelas kami.

Kalau kata guru lain, tidak ada orang yang lebih lurus dari Pak Amal. Di awal pertemuan dia sudah mewanti - wanti kami untuk datang jam 07.00 pagi teng! Lewat dari itu maka kami dinyatakan telat dan harus berdiri di depan kelas sembari mendengar Pak Amal ceramah, teman - teman piket pagi dan sesekali kena semprot.

Bisa kau bayangkan?
Setiap hari, jam 7 pagi. Tidak pernah lewat, selama 2 semester. Disaat peraturan sekolah kami 07.30 pagi untuk batas masuk, kami sudah ngos-ngosan menyapu kelas atau bergosip menumpuk dosa menyalurkan kedongkolan kami. Berat sekali, awalnya. Tidak jarang kami harus lari untuk mengecek apakah teman kami masih ada diluar (kalau sudah tidak ada berarti Pak Amal sudah masuk) atau tidak. Menghubungi via handphone juga tidak terlalu berguna karena begitu ia masuk hp kami lansung dikumpul dan disimpan di loker. Jengkel? Jangan ditanya.

Apalagi kalau sudah memasuki musim hujan. Alasan "hujan deraski pak rumahku.." tidak terlalu berhasil padanya. Karena, Pak Amal selalu punya kata - kata pamungkas yang seketika membuat kami mati kutu dan takkes. 

"HUJAN ITU HANYA MEMBASAHI, TIDAK MENGHALANGI AINIL.."

Pak Amal adalah jenis guru yang kukira hanya ada di drama Korea. Menyebalkan tapi memberi kesan. Ia guru Bhs. Indonesia dan aku percaya diri di mata pelajaran ini. Bukannya aku tidak tahu kalau Bhs. Indonesia adalah pelajaran paling tricky sepanjang masa, tapi dengan Pak Amal maka Bhs. Indonesia menjadi jauh lebih tricky dan mindblowing. Disaat kau benar-benar yakin jawabannya adalah B misalnya, maka jawaban yang benar menurut pak Amal adalah E dan dia bisa memberimu penjelasan paling masuk akal setelahnya.

Tidak terasa, aku menjadikannya semacam perlombaan. Selalu ada Quiz sebelum ulangan harian dan harus kuakui, aku menyukainya. Secara tidak sadar, aku selalu menunggu akan Quiz ini, menantang diri sendiri apakah aku bisa menjawab dengan benar sesuai dengan penjelasan - penjelasan cerdas pak Amal. Yah, walaupun ujung-ujungnya nilaiku tidak pernah lebih dari 80 (yang pada saat itu adalah pencapaian yang cukup terhormat).

Tapi apa yang menjadikan Pak Amal ini begitu asyik untuk diceritakan?

Adalah aku. Pak Amal bisa jadi orang selain orang tuaku yang mempunyai pandangan yang berbeda terhadapku. Aku memang belum bisa membanggakan diri menjadi muridnya Pak Amaluddin, karena aku belum menjadi siapa - siapa. Aku mungkin saja bisa berakhir menjadi bukan siapa - siapa. Tapi, satu hari itu Pak Amal membuatku sadar untuk memandang diriku seperti bagaimana Pak Amal memandang Ainil, aku sebagai muridnya.

dan itu lebih dari cukup, untuk selalu menyimpan Pak Amal.

***

Hari itu kami harus berpidato, dan teman-teman yang lain harus menyampaikan kritik dan saran terhadap pidato yang disampaikan. Kalau kalian tidak pernah menemuiku, aku ini gagap. Im not really good with talking. Apalagi dengan Bhs. Indonesia. Tidak terlalu parah, tapi cukup sering dan mengganggu. Apalagi untuk orang sepertiku, yang sebenarnya sangat suka bercerita. Aku tidak dibully, tenang saja. Orang-orang disekitarku menyenangkan, namun sedikit banyak kondisiku ini mengundang banyak komentar - komentar yang cukup membuat sakit hati, walau niatnya hanya bercanda.

Aku selesai menyampaikan pidatoku, tidak terlalu lancar seperti yang sudah diduga. Temanku mengangkat tangan, memberi saran. Katanya aku sering tersendat - sendat dalam menyampaikan pidato, kata yang terus berulang, dan itu sedikit mengganggu. Ia juga berkata bahwa Pidatoku sudah cukup bagus.

Lalu?

Begini kata pak Amal (aku sedikit melebih - lebihkannya):

"Ada orang yang cara bicaranya kayak Ananda Ainil ini. Terlalu cepat berpikir, sehingga mulutnya harus mengejar, jadi kesannya berbicara tersendat - sendat dan berulang-ulang. Otaknya terlalu cepat memproses sesuatu, tapi mulutnya tidak bisa mengimbangi. Ada banyak orang kyak begini, contohnya wakil presidenta' Pak JK. Jadi nda usah dipersoalkan.."

Disitu aku hampir menangis.

***

Ucapan yang sepele bagi kamu yang mungkin tidak pernah menjalani hidup seperti saya. Tidak penting apakah yang dikatakan pak Amal itu valid kalau aku secerdas pak JK. Tapi, cara pandangnya. Bagaimana ia menjelaskan sesuatu yang selama ini kuanggap kekurangan, menjadi sesuatu yang membuatku.... bangga?

Dia selalu melihat muridnya, dengan perspektif terdekat, yang paling memungkinkan untuk ia mengerti.

Hari ini, saya teringat Guru Bahasa Indonesia yang paling menyebalkan seluruh dunia. Yang selanjutnya, berusaha untuk saya urai dalam tulisan ini. Pak Amal menyelamatkan saya lagi, hari ini. 



Selesai Sehari Setelah Hari Guru,
27 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagi

Lagi-lagi. Entri ini mungkin didorong oleh perubahan hormon estrogen dan kadar serotonin seorang perempuan, setidaknya terjadi satu bulan sekali dan menjadi pihak yang selalu disalahkan oleh sebagian besar pria di seluruh dunia jikalau sang Ratu yang dahulu menawan bertransformasi menjadi ancaman sengsara lingkaran setan selama satu minggu penuh. Terlepas dari anggapan bahwa perempuan itu membingungkan dan selalu ingin dimengerti, mengapa tidak mencoba berpikir seperti ini: Kamu itu memang sedang salah. *** Makassar, di hari-hari kering kemarin aku melihat satu pasangan lucu. Sedang kasmaran, tentu saja. Fresh from the oven, baru saja jadian. Mereka manis dan menjalani hari-hari manis bersama. Sang pria, seperti  sedang bersama bongkahan semesta dengan planet-planet biru mengitari dan debu-debu asteroid yang bersinar. Menatapnya, menatap 2 mata sipit itu yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi seakan-akan dia baru saja melihat pusat dari tata surya. Pusat dari segala keindahan an

Gemas

Padahal, Aku ingin terlihat menggemaskan. Pakai baju merah atau yang putih? Haruskah aku memakai bando yang ini?  Syal ini terlihat oke? Tidak? Mesti kuganti? Apa rambutku baik-baik saja? Ah, sial. Jerawatku tumbuh lagi. Bagaimana ini? Cuci muka dengan air beras? Tidak usah? Baiklah. Hari ini aku merasa sangat pendek.  Hei, kemarin-kemarin aku merasa tinggi kau tahu? Jangan mengejekku!  Diet mungkin membuatku kurus dan lebih pendek. Ah tidak apa-apa. Pendek itu menggemaskan. Oh, tunggu. Apa ini? Sepatuku belum kering?! Tidak... tidak.. aku harus memakai sepatu yang itu. Tidak boleh yang lain. Tapi, bu...  Sepatunya cocok dengan ba-- Iya, baiklah. Aku akan memakainya. Tapi tetap tidak ikhlas. Persetan dengan langit mendung!  Ugh. Sudah jam berapa ini? Aku harus segera bersiap-siap.  Adinda, cepat mandinya. Aku harus terlihat lucu hari ini.  Demi Tuhan, Aku hanya ingin 'sedikit' lebih menggemaskan untuk hari ini. Apa riasanku terl

Telepon dari Ayah

Pendeknya: akhir-akhir ini Ayah suka sekali meneleponku. Ayah menelepon ke rumah adalah hal yang lumrah, tentu saja. Ia menelepon Ibu, lalu Nunu yang sedang di Malang dan kadang-kadang juga Dela. Aku? Tidak pernah. Aku sebenarnya menolak memberikan Ayah nomor teleponku. Bukan apa-apa, aku juga tidak sedang sibuk apapun, dan untuk Ayah, aku memang selalu punya waktu. Hanya, apa ya? I hate the feeling. Setelah mendengar suaranya, aku tidak suka perasaan yang ditinggalkan. Khawatir, sedih,.. Kangen. Ah, yang paling penting: aku khawatir aku akan menangis. Yaa yaa ya, bilang saja aku orang paling jaim seluruh dunia. Kalau kata anak indie:  semesta sedang menertawakan bagaimana aku berlakon dengan gengsiku.   "..but? Its okay to cry, babe."  another blah blah blah. Tidak, sayang, tidak. Aku, iya memang jaim. tapi, bagaimana ya? Lebih daripada itu, aku tidak boleh menambah beban ayah dengan mendengarku menangis. Tidak boleh. Tidak bisa. Ayahku, se-overthinking itu. Dia akan

Kira

Aku kira. Bukan, namaku bukan Kira tentu saja. Kira, kau tahu kan? Kata yang menggambarkan pertentangan antara " what do you expect " dan " what actually happening" . Seperti apa yang kau anggap terjadi, ternyata tidak. Ternyata bukan, Ternyata hanya dikepalamu saja. Ternyata bukan itu yang menjadi realita. Harapan yang terlalu dekat dengan kenyataan, namun tidak tergapai. Tidak sampai. Tidak ke-sampai-an. Akhirnya kamu cuma bisa tersenyum, dan berkata lirih: Aku kira itu...  Aku kira, aku bukan lagi remaja perempuan kemarin. Aku kira, aku telah menjadi seorang perempuan yang Dewasa karena patah. Kuat karena jatuh. Aku kira, mengalami pengalaman jauh membuatku menjadi lebih tangguh. Hari-hari kemarin yang berat. Orang-orang yang pergi dengan bekas. Sakit, setiap denyut, setiap goresan, i feel it all.  Aku sudah merasakan semuanya, dan yang aku tahu,aku sudah siap dengan petualangan baru. Percaya diri sekali, merasa sudah berproses dan menikmati proses. Be

Is it okay?

"Is it okay for holding so much hatred of something that is in the past?" Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegiatan gabut saya pada platform Instagram. Jam menunjukkan pukul 07.44 pagi, di bulan Ramadhan. Tidak berniat tidur, dan lebih memilih untuk tidak melakukan apa - apa. Rumah sangat sepi di waktu - waktu seperti ini. Tidak seperti biasanya, hari dimulai dengan sangat hening. Setiap hari saya menikmati pagi yang sepi sendirian. Kadang - kadang ditemani sayup - sayup suara cekikikan adik perempuan saya yang sedang nonton drama korea. Siklus tidur yang semakin tidak berpola di bulan puasa ini, pasrah sudah. Instagram adalah pelarian yang paling baik. Scroll. swipe. Scroll, swipe.  I stumbled on one picture that gave me so much feelings. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan manusia bekerja. Mengimajinasikan hati manusia berada dalam kepalan tangan Tuhan yang digenggamnya dengan sangat rapat dan kuat. Ya, sangat kuat dan rapat, sehingga tidak ter

Yah

Ayah yang paling ganteng. Karena memang ganteng. Gagah. Iyalah. Keturunan arab, marga Alaydrus. tapi tidak sering dipake karena namanya sudah panjang. Cukup jadi nama facebook saja, ya yah? Ini bukan apa-apa. Bukan juga karena ulang tahunnya ayah yang memang sangat ambigu dan penuh misteri. Putrimu ini hanya mau bersikap manis saja. Akhir-akhir ini, i think about ayah alot. Ibu juga. Bukan karena anakmu ini sudah dewasa dan bijaksana. Hanya saja.., i dont know. Kangen. The more i drown into college life, semakin sering i think about ayah dan ibu juga rumah. Tapi untuk kali ini, fokusnya ayah saja ya bu. Soalnya, surat cinta anak-anakmu untuk ibu sudah banyak sekali dan tidak pernah sekalipun menulis buat ayah. Hehehe. Pak Aldrin. Terimah kasih karena sudah terlalu kuat untuk menggendong little Ainil yang meskipun lagi lucu-lucunya, tapi juga sangat gembul dan subur. Iya, ayah memang sering mengeluh terselubung kalau lagi flashback. "Ini anak, disuruh cuci piring lamanya m