"Is it okay for holding so much hatred of something that is in the past?" Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegiatan gabut saya pada platform Instagram. Jam menunjukkan pukul 07.44 pagi, di bulan Ramadhan. Tidak berniat tidur, dan lebih memilih untuk tidak melakukan apa - apa. Rumah sangat sepi di waktu - waktu seperti ini. Tidak seperti biasanya, hari dimulai dengan sangat hening. Setiap hari saya menikmati pagi yang sepi sendirian. Kadang - kadang ditemani sayup - sayup suara cekikikan adik perempuan saya yang sedang nonton drama korea. Siklus tidur yang semakin tidak berpola di bulan puasa ini, pasrah sudah. Instagram adalah pelarian yang paling baik. Scroll. swipe. Scroll, swipe. I stumbled on one picture that gave me so much feelings. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan manusia bekerja. Mengimajinasikan hati manusia berada dalam kepalan tangan Tuhan yang digenggamnya dengan sangat rapat dan kuat. Ya, sangat kuat dan rapat, sehingga tidak ter
Pendeknya: akhir-akhir ini Ayah suka sekali meneleponku. Ayah menelepon ke rumah adalah hal yang lumrah, tentu saja. Ia menelepon Ibu, lalu Nunu yang sedang di Malang dan kadang-kadang juga Dela. Aku? Tidak pernah. Aku sebenarnya menolak memberikan Ayah nomor teleponku. Bukan apa-apa, aku juga tidak sedang sibuk apapun, dan untuk Ayah, aku memang selalu punya waktu. Hanya, apa ya? I hate the feeling. Setelah mendengar suaranya, aku tidak suka perasaan yang ditinggalkan. Khawatir, sedih,.. Kangen. Ah, yang paling penting: aku khawatir aku akan menangis. Yaa yaa ya, bilang saja aku orang paling jaim seluruh dunia. Kalau kata anak indie: semesta sedang menertawakan bagaimana aku berlakon dengan gengsiku. "..but? Its okay to cry, babe." another blah blah blah. Tidak, sayang, tidak. Aku, iya memang jaim. tapi, bagaimana ya? Lebih daripada itu, aku tidak boleh menambah beban ayah dengan mendengarku menangis. Tidak boleh. Tidak bisa. Ayahku, se-overthinking itu. Dia akan