Langsung ke konten utama

Telepon dari Ayah

Pendeknya: akhir-akhir ini Ayah suka sekali meneleponku.

Ayah menelepon ke rumah adalah hal yang lumrah, tentu saja. Ia menelepon Ibu, lalu Nunu yang sedang di Malang dan kadang-kadang juga Dela. Aku? Tidak pernah. Aku sebenarnya menolak memberikan Ayah nomor teleponku. Bukan apa-apa, aku juga tidak sedang sibuk apapun, dan untuk Ayah, aku memang selalu punya waktu. Hanya, apa ya? I hate the feeling. Setelah mendengar suaranya, aku tidak suka perasaan yang ditinggalkan. Khawatir, sedih,..

Kangen.

Ah, yang paling penting: aku khawatir aku akan menangis.

Yaa yaa ya, bilang saja aku orang paling jaim seluruh dunia. Kalau kata anak indie: semesta sedang menertawakan bagaimana aku berlakon dengan gengsiku.  "..but? Its okay to cry, babe." another blah blah blah. Tidak, sayang, tidak. Aku, iya memang jaim. tapi, bagaimana ya? Lebih daripada itu, aku tidak boleh menambah beban ayah dengan mendengarku menangis. Tidak boleh. Tidak bisa. Ayahku, se-overthinking itu. Dia akan terus memikirkannya, lalu menyalahkan dirinya sendiri. Aku tahu sekali, bagaimana kecewanya ayah sekarang terhadap dirinya. Makanya, aku harus bisa untuk selalu bahagia dan mandiri." Appaja, bisaja toh?.."

Suatu hari, Dela masuk ke kamarku dan meminta nomor teleponku. Ayah yang minta, katanya. Dengan setengah hati, kuberikan. Aku hanya perlu biasa-biasa saja, bukan? Beberapa hari kemudian, nomor asing masuk menelepon. Oh, ternyata dari Ayah. Seperti tabiatnya, mengecek lagi dimana dan sedang apa. Persis seperti yang dilakukan saat di rumah. Kalau sudah bosan nonton tv, ia lantas masuk satu - satu ke kamar anak gadisnya. Mengecek apakah 3 perempuan yang keras kepalanya bukan main itu telah pulang atau belum. Jika belum, maka hendaklah ia menelepon, kadang-kadang segera menyiapkan motor untuk menjemput salah satu dari kami. Disitu biasanya aku sangat senang, karena sering Ayah bawa pulang gorengan atau martabak. Tak heran, tabiat makan-malam-malam telah dikonstruk sedari dini. Akhir - akhir ini, tetaplah sama. Mengecek apakah telah pulang atau belum. Lagi sibuk bikin apa. SKRIPSINYA SUDAH SAMPAI MANA? Sudah makan atau belum. Mana Dela, Ibu dan Sul. Hal-hal basic seperti itu. Bedanya, ayah sudah tidak bisa menjemput atau bawa pulang martabak kesukaan Ibu.

Aku sadari, ada bagian dari diriku yang berubah setiap Ayah menelepon. yang paling drastis mungkin suaraku. Secara tidak sadar, setiap menelepon, aku selalu berusaha untuk terdengar seriang mungkin. wow, thats totally not you Girl.. Senyum yang terlalu lebar, dan suara yang nyaring sekali. Aku selalu ingin, menunjukkan bahwa aku sedang baik - baik saja disini dan jangan terlalu khawatir. Sounds so cheesy, geez i know. Menulis hal-hal yang menye seperti ini saja sudah sangat mengejutkanku.

Waktu ayah pergi, aku tidak menangis. Ah, sebenarnya aku hanya berusaha untuk tidak terlalu terlihat sedih. dan berusaha untuk jadi sedikit lebih kuat. Kulihat Ibu sudah sangat mirip dengan cina keturunan, wajahnya sangat sembab dan bengkak. Entah sudah berapa hari, ia belum juga tidur. Dela tidak sempat melihat ayah pergi. Begitupula, Nunu yang sudah sangat jauh. Terakhir kudengar, tadi pagi ibu masih sibuk menenangkan Nunu tidak berhenti menelepon. Aku yang hari itu ada di rumah. Ayah masuk ke kamar, menanyakan basa basi seperti: kamarmu sudah tidak bocor kah? Aku hanya bisa tertawa dengan canggung dan berdiri membelakanginya. Berusaha sibuk bersiap-siap untuk pergi ke kampus, di hari itu. Ibu berdiri di samping Ayah mencoba untuk sedikit tersenyum dan melempar candaan. Kubalas dengan: "Ih alaynya deh.." Masih dengan posisi yang sama, aku menolak melihat wajah Ayah.

"Eh, Ayah pergi dulu nah.."
Disitu pertahananku runtuh. Hancur. Ayah sudah sampai pagar ketika aku mulai sangat lebur dengan kesedihanku. Sempat kuintip di jendela dapur, tapi ia sudah lama naik ke mobil.

***

Hari - hari selanjutnya, kami melanjutkan hidup.



Makassar, Kamis 09 Januari 2020
Please, do not pity me. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagi

Lagi-lagi. Entri ini mungkin didorong oleh perubahan hormon estrogen dan kadar serotonin seorang perempuan, setidaknya terjadi satu bulan sekali dan menjadi pihak yang selalu disalahkan oleh sebagian besar pria di seluruh dunia jikalau sang Ratu yang dahulu menawan bertransformasi menjadi ancaman sengsara lingkaran setan selama satu minggu penuh. Terlepas dari anggapan bahwa perempuan itu membingungkan dan selalu ingin dimengerti, mengapa tidak mencoba berpikir seperti ini: Kamu itu memang sedang salah. *** Makassar, di hari-hari kering kemarin aku melihat satu pasangan lucu. Sedang kasmaran, tentu saja. Fresh from the oven, baru saja jadian. Mereka manis dan menjalani hari-hari manis bersama. Sang pria, seperti  sedang bersama bongkahan semesta dengan planet-planet biru mengitari dan debu-debu asteroid yang bersinar. Menatapnya, menatap 2 mata sipit itu yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi seakan-akan dia baru saja melihat pusat dari tata surya. Pusat dari segala keindahan an

Gemas

Padahal, Aku ingin terlihat menggemaskan. Pakai baju merah atau yang putih? Haruskah aku memakai bando yang ini?  Syal ini terlihat oke? Tidak? Mesti kuganti? Apa rambutku baik-baik saja? Ah, sial. Jerawatku tumbuh lagi. Bagaimana ini? Cuci muka dengan air beras? Tidak usah? Baiklah. Hari ini aku merasa sangat pendek.  Hei, kemarin-kemarin aku merasa tinggi kau tahu? Jangan mengejekku!  Diet mungkin membuatku kurus dan lebih pendek. Ah tidak apa-apa. Pendek itu menggemaskan. Oh, tunggu. Apa ini? Sepatuku belum kering?! Tidak... tidak.. aku harus memakai sepatu yang itu. Tidak boleh yang lain. Tapi, bu...  Sepatunya cocok dengan ba-- Iya, baiklah. Aku akan memakainya. Tapi tetap tidak ikhlas. Persetan dengan langit mendung!  Ugh. Sudah jam berapa ini? Aku harus segera bersiap-siap.  Adinda, cepat mandinya. Aku harus terlihat lucu hari ini.  Demi Tuhan, Aku hanya ingin 'sedikit' lebih menggemaskan untuk hari ini. Apa riasanku terl

Pak Amal

Namanya: Pak Amal. Guru Bhs. Indonesia, mengajar di kelas IPS sewaktu aku masih SMA dulu. Beliau sekaligus nyambi jadi Wali Kelas IPS 1. Ya teman-teman, Amaluddin dan XI IPS 1 adalah legenda. Sama seperti tahun lalu, lalu tahun tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya lagi. Selalu begitu. XI IPS 1 dan Amaluddin adalah pasangan keramat di sekolahku. Beliau adalah sumber dari segala 'crooked smile' yang diberikan para pendahulu kami, kakak - kakak angkatan sebelumnya, para Survivor . Dengan tatapan yang tidak terlalu kupahami, mereka bisikkan kami dengan sangat halus dan lembut:  "Selamat Nah.." Pak Amal berpostur tubuh sedikit mungil dibandingkan Bapak Guru lainnya di sekolah kami. Kacamatanya juga sangat vintage style , dengan frame emas lengkap dengan Strap kacamata yang selalu digantungkan. Akhir - akhir ini kusadari gayanya itu menjadi tren para remaja. Wajahnya sebenarnya ramah, untuk kesan pertama. Warna kulitnya tidak gelap, dan bahkan berseri - seri

Kira

Aku kira. Bukan, namaku bukan Kira tentu saja. Kira, kau tahu kan? Kata yang menggambarkan pertentangan antara " what do you expect " dan " what actually happening" . Seperti apa yang kau anggap terjadi, ternyata tidak. Ternyata bukan, Ternyata hanya dikepalamu saja. Ternyata bukan itu yang menjadi realita. Harapan yang terlalu dekat dengan kenyataan, namun tidak tergapai. Tidak sampai. Tidak ke-sampai-an. Akhirnya kamu cuma bisa tersenyum, dan berkata lirih: Aku kira itu...  Aku kira, aku bukan lagi remaja perempuan kemarin. Aku kira, aku telah menjadi seorang perempuan yang Dewasa karena patah. Kuat karena jatuh. Aku kira, mengalami pengalaman jauh membuatku menjadi lebih tangguh. Hari-hari kemarin yang berat. Orang-orang yang pergi dengan bekas. Sakit, setiap denyut, setiap goresan, i feel it all.  Aku sudah merasakan semuanya, dan yang aku tahu,aku sudah siap dengan petualangan baru. Percaya diri sekali, merasa sudah berproses dan menikmati proses. Be

Is it okay?

"Is it okay for holding so much hatred of something that is in the past?" Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari kegiatan gabut saya pada platform Instagram. Jam menunjukkan pukul 07.44 pagi, di bulan Ramadhan. Tidak berniat tidur, dan lebih memilih untuk tidak melakukan apa - apa. Rumah sangat sepi di waktu - waktu seperti ini. Tidak seperti biasanya, hari dimulai dengan sangat hening. Setiap hari saya menikmati pagi yang sepi sendirian. Kadang - kadang ditemani sayup - sayup suara cekikikan adik perempuan saya yang sedang nonton drama korea. Siklus tidur yang semakin tidak berpola di bulan puasa ini, pasrah sudah. Instagram adalah pelarian yang paling baik. Scroll. swipe. Scroll, swipe.  I stumbled on one picture that gave me so much feelings. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan manusia bekerja. Mengimajinasikan hati manusia berada dalam kepalan tangan Tuhan yang digenggamnya dengan sangat rapat dan kuat. Ya, sangat kuat dan rapat, sehingga tidak ter

Yah

Ayah yang paling ganteng. Karena memang ganteng. Gagah. Iyalah. Keturunan arab, marga Alaydrus. tapi tidak sering dipake karena namanya sudah panjang. Cukup jadi nama facebook saja, ya yah? Ini bukan apa-apa. Bukan juga karena ulang tahunnya ayah yang memang sangat ambigu dan penuh misteri. Putrimu ini hanya mau bersikap manis saja. Akhir-akhir ini, i think about ayah alot. Ibu juga. Bukan karena anakmu ini sudah dewasa dan bijaksana. Hanya saja.., i dont know. Kangen. The more i drown into college life, semakin sering i think about ayah dan ibu juga rumah. Tapi untuk kali ini, fokusnya ayah saja ya bu. Soalnya, surat cinta anak-anakmu untuk ibu sudah banyak sekali dan tidak pernah sekalipun menulis buat ayah. Hehehe. Pak Aldrin. Terimah kasih karena sudah terlalu kuat untuk menggendong little Ainil yang meskipun lagi lucu-lucunya, tapi juga sangat gembul dan subur. Iya, ayah memang sering mengeluh terselubung kalau lagi flashback. "Ini anak, disuruh cuci piring lamanya m